Abstract:
Penelitian ini mengkaji relasi ketergantungan petani cabai rawit terhadap
tengkulak di Desa Bocek, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, melalui
lensa sosiologi ekonomi pedesaan. Berbeda dengan pandangan ekonomi
konvensional, studi ini menemukan bahwa ketergantungan tersebut tidak semata
– mata bersifat rasional – ekonomi, melainkan terlekat kuat dalam jalinan sosial
dan budaya lokal. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penelitian ini
mengidentifikasi empat tipologi kapitalisme pedesaan yang unik:
(1) Kapitalisme Semu, (2) Kapitalisme Perantara Berbasis Modal Sosial, (3)
Pemburu Rente Skala Mikro Berbasis Asimetri Informasi dan Akses, dan (4)
Kapitalisme Kepastian Semu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik "Tak Gowo Disek" dalam
mekanisme penyerahan panen tanpa penetapan harga di awal, menjadi inti dari
distorsi pasar hibrid di Desa Bocek. Meskipun praktik ini tampak memberikan
"kepastian" bagi petani, sesungguhnya hal ini melanggengkan asimetri informasi
dan kekuatan tawar, memungkinkan tengkulak untuk mengekstraksi “rente”.
Fenomena "ewuh pakewuh" dan "keterlekatan sosial" yang mendalam antara
petani dan tengkulak, yang dibangun melalui kepercayaan dan "utang budi"
historis, secara paradoksal justru memperkuat ikatan ketergantungan ini. Nilai –
nilai komunal yang seharusnya menjadi perekat solidaritas, terdistorsi menjadi
instrumen yang menopang dominasi tengkulak, mengaburkan eksploitasi ekonomi
di balik kedok relasi personal.
Implikasinya, petani kehilangan posisi tawar yang signifikan, terjebak dalam
lingkaran kemiskinan produksi, di mana nilai tambah hasil jerih payah mereka
terserap di tingkat perantara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketergantungan
ini adalah manifestasi dari kegagalan struktural negara dan institusi pasar formal
dalam menyediakan infrastruktur dan kelembagaan yang inklusif bagi petani kecil.
Oleh karena itu, rekomendasi penyuluhan difokuskan pada pengoptimalisasian
kelompok tani dengan pemasaran langsung, yang diharapkan mampu
membangun kesadaran kritis, meningkatkan posisi tawar kolektif, serta memutus
mata rantai ketergantungan secara berkelanjutan, dengan tetap
mempertimbangkan sensitivitas budaya lokal.